Langsung ke konten utama

Mutasi Teknologi dan Konten Digital



http://blog.sribu.com/wp-content/uploads/2015/07/Konten-Digital-Marketng-Strategy.png
source: http://blog.sribu.com/wp-content/uploads/2015/07/Konten-Digital-Marketng-Strategy.png


Di era sekarang ini, media platform telah bermutasi yang awalnya tradisional menjadi digital. Hal ini dikarenakan perubahan struktur sosial yang dilakukan oleh manusia. Ada 4 fase yang mengawali perkembangan cara manusia berkomunikasi, pertama the tribal age. Di era ini komunikasi media dimediasi melalui komuikasi lisan karena masyarakat pada umumnya terikat dengan budaya lisan. Era selanjutnya adalah era masyarakat tulis. Dalam era ini, komunikasi manusia dimediasi oleh tulisan yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip bangunan logika. Ketiga, era percetakan yang mana komunikasi antarmanusia menekankan pada cetakan visual. Yang menjadi tonggak awal adanya era percetakan ini adalah penemuan mesin cetak oleh Guttenberg. Seiring dengan berkembangnya waktu serta adanya revolusi industri, mulailah dunia komunikasi masuk kedalam era elektronika yang menekankan pada image visual. Era ini diawali dengan terbentuknya kesadaran dan pengalaman hidup dengan prinsip global village yang dibawa oleh perkembangan penemuan internet pada tahun 1960an di Amerika. Pada era elektronika ini juga, televisi merupakan media yang sangat dominan karena melibatkan semua sensori manusai (persepsi, sikap, stereotip, pikiran, perasaan, emosi, tindakan) yang mendorong warga masyarakat ke retribalization, serta memudarnya logika dan cara berpikir linear. Seiring dengan berkembangnya era elektronika akibat perkembangan teknologi itu sendiri dan internet yang semakin hari semakin di-build oleh banyak ahli membuat cara manusia berkomunikasi satu sama lain berubah. Di awal manusia dapat berkomunikasi, manusia hanya dapat berkomunikasi satu arah; manusia tidak dapat memberikan feedback dari apa yang telah ia sampaikan. Lalu, setelah manusia mengenal tulisan dan ditemukan mesin cetak, manusia mulai menyadari bahwa mereka dapat menyampaikan pendapat mereka dan dapat membagi pendapat mereka tersebut ke khalayak luas. Hal ini sebenarnya juga didukung oleh akses terbuka kepada ilmu pengetahuan yang diciptakan oleh mesin cetak yang ditemukan oleh Guttenberg karena semenjak adanya mesin cetak tersebut, buku-buku yang sebelumnya sulit didapat (hanya kalangan tertentu saja yang dapat menikmatinya) dikarenakan akses yang terbatas dan harga yang mahal menjadi mudah didapat dengan harga murah.

Lalu, adanya Revolusi Digital di era elektronika yang mana teknologi analog dan mekanik berubah ke teknologi digital pada tahun 1980an, mengubah cara manusia berkomunikasi dengan seseorang secara keseluruhan. Revolusi ini dipicu oleh penemual personal computer (PC). Revolusi digital memudahkan pemindahan informasi digital antar media. Penemuan PC ini lah yang turut andil dalam lahirnya world wide web pada tahun 1990an yang mana saat itu lebih dari setengah Amerika menggunakan internet. Isi dari world wide web dapat disebut dengan digital content. Digital content dapat dicontohkan seperti video, software, audio dan image. Digital content ini dapat dikatakan sebagai bentuk penuangan ide manusia ke dalam bentuk tertentu yang digunakan untuk berkomunikasi dengan manusia lain. Ide yang merupakan hak kekayaan intelektual manusia tentu tidak dapat kita nikmati dengan begitu saja, orang yang ingin menikmatinya harus membayar atau berlangganan. Seperti salah satu yang dicontohkan J. Zittrain dalam bagian pembukaan bukunya The Future of The Internet And How To Stop It tentang software yang ada pada iPhone. Software yang disematkan pada iPhone adalah locked appliances demi menjaga keamanan hak cipta dan orisinalitasnya. 


Sayangnya, tidak semua menyadari bahwa penting untuk melindungi ide yang dimiliki. Dipicu oleh berbagai macam teknologi digital yang semakin maju, berbagai kalangan telah dimudahkan dalam mengakses suatu informasi yang mana dapat mengakibatkan dampak negative, salah satumya kejahatan digital seperti pembajakan, pelanggaran hak cipta, serta konten pornografi. Sayangnya, tidak semua menyadari bahwa penting untuk melindungi ide yang dimiliki. Dipicu oleh berbagai macam teknologi digital yang semakin maju, berbagai kalangan telah dimudahkan dalam mengakses suatu informasi yang mana dapat mengakibatkan dampak negative, salah satumya kejahatan digital seperti pembajakan, pelanggaran hak cipta, serta konten pornografi.


Sebenarnya, dengan kemudahan akses yang diberikan oleh teknologi sekarang, tanpa kita sadari kita telah banyak melakukan pelanggaran dalam penggunaan konten media digital. Namun, ada baiknya kita berhati-hati dan waspada, agar kita tidak terkena pelanggaran hak cipta dan tetap menghormati ide serta karya orang lain. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mencantumkan nama pembuat dalam karya (watermark) atau menyebutkan sumber darimana kita mendapatkan konten tersebut. Jangan sampai kita terlena oleh arus free-flowing digital content yang akhirnya memuarakan kita pada permasalahan hak cipta.


Dengan semua hal diatas, PR dituntut untuk kerja ekstra, PR harus dapat memanfaatkan dunia digital untuk menunjang pekerjaannya. PR diwajibkan menguasai blog, online writing, media social strategy, search engine optimization, dan social media monitoring. Social media monitoring salah satunya dapat memanfaatkan social media platform karena konsumen zaman sekarang banyak menuangkan kritik, keluhan, saran serta opini dalam social media platform miliknya. Apa sebenarnya social media platform itu sendiri? Social media platform adalah wadah bagi khalayak untuk menuangkan opini, pendapat, saran, kritik, serta pemikiran mereka kedalam wadah yang disebut dengan social media seperti Facebook, twitter, Youtube, dan lain sebagainya. Terkait dengan hak cipta, PR juga dapat melakukan monitor di social media untuk dapat segera mengetahui jika ada pelanggaran terhadap kekayaan intelektual yang dimiliki oleh perusahaan/intansi/organisasi yang dinaunginya.

Daftar Pustaka (semua diakses pada tanggal 15 Maret 2017) :
http://digilib.uinsby.ac.id/10990/6/Bab%203.pdf
http://romeltea.com/tugas-humas-era-digital-digital-pr/
Zittrain, J. (2008) "Introduction". In J. Zittrain The Future of The Internet And How To Stop It (p. 1-5) New Haven: Yale University Press.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Barbie: Transmedia dan Konsumerisme

  Salah satu film animasi produksi Mattel , “Barbie Video Game Hero” dirilis pada tahun 2017. Film tersebut menceritakan tentang pengalaman Barbie bersama teman-temannya yang terperangkap dalam dunia virtual dan memenangkan permainan demi permainan untuk dapat keluar. Dalam hal ini, Barbie merupakan salah satu hiburan yang berada dalam era konvergensi. Barbie mengintegrasikan ceritanya kedalam berbagai jenis medium atau dikenal sebagai transmedia storytelling (Jenkins, 2007). Transmedia storytelling adalah penggabungan media-media yang berasal dari sebuah cerita yang seakan-akan menceritakan tentang suatu kejadian. Transmedia storytelling merupakan proses di mana unsur-unsur yang tidak terpisahkan dari sebuah cerita fiksi tersebar secara sistematis di beberapa saluran pengiriman untuk tujuan menciptakan pengalaman hiburan terpadu dan terkoordinasi. Setiap media memiliki kontribusi yang unik untuk terungkapnya cerita. Suatu cerita yang dibuat menjadi sebuah film dan dari film terseb

Social Construction Of Technology: Implementasi Personal Connection dalam PR

Dalam hidup bermasyarakat, manusia tidak lepas dari berkomunikasi karena hakekatnya manusia adalah makhluk sosial. Dengan adanya hubungan yang tercipta antara manusia dengan teknologi, muncul gagasan bahwa manusialah yang membentuk teknologi. Manusia mengkonstruksikan teknologi untuk menjalankan kepentingannya dalam berkomunikasi dengan orang lain. Terdapat gagasan diungkapkan oleh Raymond Williams yang mengklasifikasi 9 interpretasi dari bentuk ketidaksetujuan dari pernyataan McLuhan bahwa “televisi membentuk dunia kita” dan membaginya menjadi dua kategori utama: technological determinism dan symptomatic technology . Technological determinism memandang bahwa penemuan teknologi mengakibatkan perubahan sosial. Disisi lain, symptomatic technology percaya bahwa media digunakan oleh tatanan masyarakat untuk memanipulasi yang lain demi kepentingannya sendiri. William mengatakan bahwa teknologi adalah proses yang tidak disengaja. Proses ini merupakan proses dari penelitian dan pengem

Produsage dan Citizen Journalism: Cara PR dalam mengatasi Web 2.0 environment

Produsage adalah jenis pembuatan konten pengguna yang dipimpin yang terjadi di berbagai lingkungan online, perangkat lunak open source, dan blogosphere. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Axel Burns, sarjana media dari Australia, pada tahun 2009. Konsep ini mengaburkan batas-batas antara konsumsi pasif dan produksi aktif. Perbedaan antara produsen dan konsumen atau pengguna konten telah memudar, sebagai pengguna memainkan peran produsen apakah mereka menyadari peran ini atau tidak.   Produsage menawarkan cara-cara baru memahami pembuatan konten kolaboratif dan praktek-praktek pembangunan yang ditemukan di lingkungan informasi yang kontemporer. Produsage dapat digambarkan melalui empat kunci karakteristik: • pergeseran dari individu yang berdedikasi dan tim sebagai produsen untuk berbasis lebih luas, didistribusikan generasi konten oleh masyarakat luas; • fluid movement of produsers antara peran sebagai pemimpin, peserta, dan pengguna konten – seperti produser mungki