Langsung ke konten utama

#mencallmethings: catcalling

Perempuan dan lelaki. Wanita dan pria. Cewek dan cowok. Dua hal yang berbeda namun pada hakikatnya sesama ciptaan Tuhan. Yang disebut dengan perempuan, wanita, dan cewek ini sering dipandang sebagai makhluk yang lemah, makhluk yang menjadi sasaran empuk sebagai objek untuk dapat diperlakukan sesuka hati. Apalagi pada era sekarang ini, meskipun teknologi sudah berkembang, terkadang perkembangan tersebut tidak dibarengi dengan perkembangan mental dan perilaku manusianya. Dalam hal ini, masih banyak lelaki yang memandang bahwa perempuan, wanita atau cewek ini lemah; lelaki masih suka untuk membungkam perempuan baik di dunia nyata maupun maya. Dalam teori komunikasi pun terdapat Muted Group Theory yang mengangkat fenomena perbedaan gender antara lelaki dan perempuan yang mana dalam teori ini wanita memiliki kesulitan untuk dapat setara dengan lelaki sehingga menjadi satu grup yang "dibungkam". Belakangan ini marak pembahasan mengenai "catcalling" yang dilakukan oleh para lelaki di jalanan kepada perempuan yang sedang berjalan didekatnya. Catcall memiliki artian: make a whistle, shout, or comment of a sexual nature to a woman passing by. Dari pengertiannya, terkesan sepele: disiul, dikomentari, namun jauh dari itu hal ini menyangkut harga diri apalagi terkait dengan seksualitas. Catcalling dapat dikategorikan sebagai kejahatan seksual secara verbal.
Dalam artikel http://www.abc.net.au/news/2011-11-11/evans-men-call-me-things-and-its-not-romantic-twitt/3659712 dibahas tentang hashtag yang sempat ramai di media sosial, #mencallmethings. Berikut kutipan artikel tersebut:
We all know examples of when the internet turns bad. Trolling is not a new thing, it existed even in the days of MySpace and GeoCities. What seems to be on the rise, is compliance trolling and the phenomena of anonymous digital misogyny. When did faceless men decide it was acceptable to take it upon themselves and threaten women online with death threats, rape threats, violence and sexism?
The horrid abuse towards women who have an opinion and dare to share it online, is a scary indicator of the health of our society. The rise of misogynist trolling towards women - and we're not just talking about the abuse directed towards Julia Gillard, Miranda Divine, Catherine Deveny or Marieke Hardy here - online is one of the things which at times, leads me to question whether my love affair with the internet is actually an abusive relationship that I need to seek escape from. Indeed, there have been times I've retreated to the women's shelter of real-life and re-evaluated the relationship.
This was at its most trying a couple of weeks ago. I made the mistake of conducting an interview with News.com.au on the appeal or not of Google Plus for businesses, and was subjected to days of online abuse, anonymous emails, and comment threads filled with men calling me 'love' and telling me to 'get back into the kitchen' and my favourite, 'the world would be better off without you'. Funnily enough, one of the men took it upon himself to email me after he had derided me for my 'silly little girl' views, and expressed hope that I wasn't offended and was tough enough to cop it. Thanks, Jim.
Within the women with opinions that I follow online, I've witnessed varying degrees of this sexist trolling committed nine times out of 10 by men who rarely use their real identity, and the impact of which ripples out affecting their confidence, their security and their credibility. Because if a woman complains online over this turgid behaviour, she's subjected to calls of being too emotional, or soft, or the old 'if you don't like it, don't go online'.
'Bitch', 'slut', 'whore' and 'love' are commonly thrown towards women online, along with rape threats and deviant violence references, and are very rarely called out by the woman scorned or by the online community surrounding her and the 'troll'. They're given seemingly without consequence, and perpetuated by compliance. I'm often told by colleagues, friends and my partner all with the best of intentions (love you guys), not to worry about the abuse or to fight it or even to respond as "it's just trolls" or "don't feed the trolls".
But you know, I can't remember the last time I was on the bus, expressed an opinion and had a man pipe up that he was going to knock me off. Nor can I think of a time I've been in a cafe, reading a newspaper and commenting on the issues of the day, only to have a man in a mask jump out and tell me I'm a silly little girl that deserves to be raped.
So why does this behaviour occur online? Is it simply because these men are empowered with the safety of their anonymity and computer screen and are acting out long-held feelings of disgust over women?
We wouldn't tolerate this misogyny on the bus, or in a cafe, or at school or at work or in a pub or Church, so why are we allowing it to happen online? It's time to call it out, ridicule it, and most importantly, make men stop it. The question is how do we do that? How do we reverse this vile and abusive digital sexism?
Perhaps Dr Phil has the answer; "Awareness without action is worthless". So, now that we're becoming aware, what's your contribution to #mencallmethings ?

Dapat disimpulkan bahwa internet memiliki peranan penting dalam fenomena catcalling ini. Untuk itu, gunakanlah internet dengan bijak untuk 'memerangi' kejahatan seksual verbal ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Barbie: Transmedia dan Konsumerisme

  Salah satu film animasi produksi Mattel , “Barbie Video Game Hero” dirilis pada tahun 2017. Film tersebut menceritakan tentang pengalaman Barbie bersama teman-temannya yang terperangkap dalam dunia virtual dan memenangkan permainan demi permainan untuk dapat keluar. Dalam hal ini, Barbie merupakan salah satu hiburan yang berada dalam era konvergensi. Barbie mengintegrasikan ceritanya kedalam berbagai jenis medium atau dikenal sebagai transmedia storytelling (Jenkins, 2007). Transmedia storytelling adalah penggabungan media-media yang berasal dari sebuah cerita yang seakan-akan menceritakan tentang suatu kejadian. Transmedia storytelling merupakan proses di mana unsur-unsur yang tidak terpisahkan dari sebuah cerita fiksi tersebar secara sistematis di beberapa saluran pengiriman untuk tujuan menciptakan pengalaman hiburan terpadu dan terkoordinasi. Setiap media memiliki kontribusi yang unik untuk terungkapnya cerita. Suatu cerita yang dibuat menjadi sebuah film dan dari film terseb

Social Construction Of Technology: Implementasi Personal Connection dalam PR

Dalam hidup bermasyarakat, manusia tidak lepas dari berkomunikasi karena hakekatnya manusia adalah makhluk sosial. Dengan adanya hubungan yang tercipta antara manusia dengan teknologi, muncul gagasan bahwa manusialah yang membentuk teknologi. Manusia mengkonstruksikan teknologi untuk menjalankan kepentingannya dalam berkomunikasi dengan orang lain. Terdapat gagasan diungkapkan oleh Raymond Williams yang mengklasifikasi 9 interpretasi dari bentuk ketidaksetujuan dari pernyataan McLuhan bahwa “televisi membentuk dunia kita” dan membaginya menjadi dua kategori utama: technological determinism dan symptomatic technology . Technological determinism memandang bahwa penemuan teknologi mengakibatkan perubahan sosial. Disisi lain, symptomatic technology percaya bahwa media digunakan oleh tatanan masyarakat untuk memanipulasi yang lain demi kepentingannya sendiri. William mengatakan bahwa teknologi adalah proses yang tidak disengaja. Proses ini merupakan proses dari penelitian dan pengem

Produsage dan Citizen Journalism: Cara PR dalam mengatasi Web 2.0 environment

Produsage adalah jenis pembuatan konten pengguna yang dipimpin yang terjadi di berbagai lingkungan online, perangkat lunak open source, dan blogosphere. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Axel Burns, sarjana media dari Australia, pada tahun 2009. Konsep ini mengaburkan batas-batas antara konsumsi pasif dan produksi aktif. Perbedaan antara produsen dan konsumen atau pengguna konten telah memudar, sebagai pengguna memainkan peran produsen apakah mereka menyadari peran ini atau tidak.   Produsage menawarkan cara-cara baru memahami pembuatan konten kolaboratif dan praktek-praktek pembangunan yang ditemukan di lingkungan informasi yang kontemporer. Produsage dapat digambarkan melalui empat kunci karakteristik: • pergeseran dari individu yang berdedikasi dan tim sebagai produsen untuk berbasis lebih luas, didistribusikan generasi konten oleh masyarakat luas; • fluid movement of produsers antara peran sebagai pemimpin, peserta, dan pengguna konten – seperti produser mungki