Langsung ke konten utama

Music Sampling dan Remixes




Teknologi memudahkan manusia dalam melakukan sesuatu hal yang ingin dilakukan. Tak hanya berfungsi sebagai media informasi, teknologi juga memiliki fungsi sebagai media hiburan. Dengan kemudahan yang diberi oleh teknologi, makin hari orang semakin mengeksplorasi hiburan apa yang ingin dinikmati. Dari kelebihan dan kecanggihan yang ada sekarang serta untuk memenuhi kepuasaan manusia akan hal hiburan, pada saat ini banyak media yang di”mix” untuk memenuhi itu semua. Remix Media is building a mobile app that allows its users to mashup video content and overlay animations, text, and audio. It also provides services related to Internet video, pop-culture, satire, mobile first, and more for its users. Salah satu hiburan yang menjadi hasil perkembangan atas kebutuhan manusia akan hiburan adalah music sampling dan remixes.  Music sampling adalah teknik membuat lagu baru berupa potongan lalu disatukan menjadi satu. Music sampling hanya membagi satu bagian saja dalam lagu, seperti lagu “Pusing Pala Barbie” yang dipopulerkan oleh Puteri Bahar, nada reff diambil dari lagu Meghan Trainor yang berjudul “All That Bass”. Remixes atau music remix adalah penggubahan nada lagu yang berbeda dengan nada aslinya. Agar mudah, dapat dicontohkan seperti lagu Tracy Chapman yang berjudul Fast Car. Lagu ini bernada asli country, dan diremix oleh Jonas Blue, DJ asal Inggris dengan judul lagu yang sama namun pastinya dengan nada yang berbeda. Jika ditelaah, kehadiran music sampling dan music remixes pada masa kini menjadi suatu hiburan yang sangat digemari, apalagi dengan maraknya DJ yang mengeluarkan baik itu single maupun album. Kelemahan dari music sampling dan remixes ini adalah mereka berada di zona rawan copyright. Mengapa? Karena pada dasarnya, dalam membuat music sampling dan remixes mereka memerlukan penggabungan beberapa musik dan aransemen yang pastinya aransemen tersebut tidak dibuat sendiri oleh sang sampler dan remixer. Maka dari itu, dalam dunia PR sudah saatnya PR masa kini tidak hanya menjadi agen korporat saja, tetapi juga harus dapat mengetahui hal-hal diluar korporat atau bahkan dapat perkembang menjadi PR dalam dunia permusikan modern karena era sekarang sangat rawan akan masalah hak cipta dan pastinya para artis membutuhkan PR dalam nantinya mengatasi hal terkait copyright.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Barbie: Transmedia dan Konsumerisme

  Salah satu film animasi produksi Mattel , “Barbie Video Game Hero” dirilis pada tahun 2017. Film tersebut menceritakan tentang pengalaman Barbie bersama teman-temannya yang terperangkap dalam dunia virtual dan memenangkan permainan demi permainan untuk dapat keluar. Dalam hal ini, Barbie merupakan salah satu hiburan yang berada dalam era konvergensi. Barbie mengintegrasikan ceritanya kedalam berbagai jenis medium atau dikenal sebagai transmedia storytelling (Jenkins, 2007). Transmedia storytelling adalah penggabungan media-media yang berasal dari sebuah cerita yang seakan-akan menceritakan tentang suatu kejadian. Transmedia storytelling merupakan proses di mana unsur-unsur yang tidak terpisahkan dari sebuah cerita fiksi tersebar secara sistematis di beberapa saluran pengiriman untuk tujuan menciptakan pengalaman hiburan terpadu dan terkoordinasi. Setiap media memiliki kontribusi yang unik untuk terungkapnya cerita. Suatu cerita yang dibuat menjadi sebuah film dan dari film terseb

Social Construction Of Technology: Implementasi Personal Connection dalam PR

Dalam hidup bermasyarakat, manusia tidak lepas dari berkomunikasi karena hakekatnya manusia adalah makhluk sosial. Dengan adanya hubungan yang tercipta antara manusia dengan teknologi, muncul gagasan bahwa manusialah yang membentuk teknologi. Manusia mengkonstruksikan teknologi untuk menjalankan kepentingannya dalam berkomunikasi dengan orang lain. Terdapat gagasan diungkapkan oleh Raymond Williams yang mengklasifikasi 9 interpretasi dari bentuk ketidaksetujuan dari pernyataan McLuhan bahwa “televisi membentuk dunia kita” dan membaginya menjadi dua kategori utama: technological determinism dan symptomatic technology . Technological determinism memandang bahwa penemuan teknologi mengakibatkan perubahan sosial. Disisi lain, symptomatic technology percaya bahwa media digunakan oleh tatanan masyarakat untuk memanipulasi yang lain demi kepentingannya sendiri. William mengatakan bahwa teknologi adalah proses yang tidak disengaja. Proses ini merupakan proses dari penelitian dan pengem

Produsage dan Citizen Journalism: Cara PR dalam mengatasi Web 2.0 environment

Produsage adalah jenis pembuatan konten pengguna yang dipimpin yang terjadi di berbagai lingkungan online, perangkat lunak open source, dan blogosphere. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Axel Burns, sarjana media dari Australia, pada tahun 2009. Konsep ini mengaburkan batas-batas antara konsumsi pasif dan produksi aktif. Perbedaan antara produsen dan konsumen atau pengguna konten telah memudar, sebagai pengguna memainkan peran produsen apakah mereka menyadari peran ini atau tidak.   Produsage menawarkan cara-cara baru memahami pembuatan konten kolaboratif dan praktek-praktek pembangunan yang ditemukan di lingkungan informasi yang kontemporer. Produsage dapat digambarkan melalui empat kunci karakteristik: • pergeseran dari individu yang berdedikasi dan tim sebagai produsen untuk berbasis lebih luas, didistribusikan generasi konten oleh masyarakat luas; • fluid movement of produsers antara peran sebagai pemimpin, peserta, dan pengguna konten – seperti produser mungki