Antropolog
menyatakan bahwa storytelling adalah
pusat dari eksistensi manusia. Storytelling
melibatkan pertukaran simbiosis antara penutur dan pendengar, sebuah
pertukaran yang kita pelajari untuk bernegosiasi di masa kecil. Stories adalah pola yang mudah dikenali,
dan dalam pola tersebut kita menemukan makna. Kita menggunakan stories untuk menjadikan dunia kita
masuk akal dan membagi pemahaman kita dengan orang lain. Kita sebagai manusia
bercerita dan menceritakan kembali cerita yang kita senangi karena itulah yang
dilakukan oleh manusia. Jika cerita itu sangat bermakna, kita tidak akan puas
jika hanya menceritakannya dalam waktu singkat. Kita ingin mengetahui lebih
dalam lagi. Kita inn membayangkan diri kita didalam cerita tersebut,
menceritakannya kembali, dan menjadikan hal tersebut menjadi milik kita.
Penemuan
internet menjadi awal mula kita menggunakan teknologi untuk membagi pemahaman
kita dengan orang lain. Internet layaknya bunglon yang dapat
menjadi berbagai media. Internet dapat menjadi teks, audio, video, dan lain
sebagainya. Internet Broadband membawa perubahan bagi masyarakat dalam berperilaku,
berbudaya, serta membagi pemahaman dengan yang lainnya. Internet disebut juga
dengan ‘new media’. Dengan adanya new
media ini, berkembanglah transmedia storytelling karena di masa ini semua
produk media berbentuk multimedia.
Charler
Leadbeater mengatakan bahwa cara kita berpikir dan memahami “pengetahuan” pada
dasarnya berubah pada online age.
Akan lebih mudah bagi kita untuk berbagi ide secara cepat dan efisien. Hal itu
yang menyebabkan kita semakin kreatif dan inovatif. Cara berfikir manusia yang
semakin kreatif dan inovatif menjadi faktor adanya transmedia storytelling. Kita tidak lagi sekedar berbagi pengalaman
dan kisah melalui tutur mulut saja-hal tersebut dirasa kurang memuaskan hasrat
manusia dalam memenuhi keingintahuannya.
Transmedia storytelling
itu sendiri adalah penggabungan media-media yang berasal dari sebuah cerita.
Media-media tersebut seakan-akan menceritakan rangkaian sebuah cerita. Transmedia storytelling merupakan proses
di mana unsur-unsur yang tidak terpisahkan dari sebuah cerita fiksi tersebar
secara sistematis di beberapa saluran pengiriman untuk tujuan menciptakan
pengalaman hiburan terpadu dan terkoordinasi. Setiap media membuatnya memiliki
kontribusi yang unik untuk terungkapnya cerita. Suatu cerita yang dibuat
menjadi sebuah film dan dari film tersebut muncul produk-produk yang menjadi
‘perpanjangan” dari film tersebut, entah dalam bentuk games, musik, mainan dan
buku adalah bentuk dari transmedia
storytelling.
Semua
multimedia itu adalah hasil dari konvergensi media dan media outlet. Konvergensi media adalah penggabungan dari outlet media
massa (media cetak, televisi, radio, internet) bersama dengan teknologi portable
dan interaktif melalui berbagai platform digital media. Konvergensi media
memungkinkan media massa menggunakan berbagai macam media untuk menyajikan
informasi dan menceritakan suatu cerita. Komunikasi yang konvergen menyediakan
beberapa alat untuk bercerita, yang memungkinkan konsumen untuk memilih tingkat
interaktifitas.
Dengan
adanya konvergensi media dan media outlet,
perusahaan film sekarang tidak hanya berfokus pada satu bentuk media saja,
mereka melakukan pendekatan dengan khalayak menggunakan berbagai macam platform
media, termasuk smartphone dan media sosial. Dengan semakin banyak produk media
yang digunakan, khalayak akan dapat merasakan keterlibatan mereka dalam film.
Menjadi bagian dari film dapat mendorong mereka untuk loyal kepada produk media
dan perusahaan akan mendapat banyak keuntungan dari produk terkait yang mereka
jual. Faktor lain yang menjadikan perusahaan dapat meraup untung dari adanya
konvergensi media dan media outlet adalah karakteristik internet yang
berpotensi untuk menjadi ‘we-media’ yang mana pengguna internet cenderung akan
mengandalkan beberapa situs internet yang berasal dari perusahaan tersebut dan
hal tersebut menciptakan loyalitas konsumen kepada perusahaan.
Keberadaan transmedia storytelling dapat digunakan sebagai media PR dalam meningkatkan citra perusahaan/institusi/organisasi yang dinaunginya. Dengan demikian PR dituntut untuk menjadi kreatif, dan dapat memanfaatkan keberadaan transmedia storytelling dengan baik.
Komentar
Posting Komentar